Alhamdulillah.. akhirnya, aku bisa masuk kampus impianku juga! Nayshila Putri Maharani, calon mahasiswi baru jurusan akuntansi.
Betewe, aku bukan satu-satunya murid dari sekolah asalku yang lolos Seleksi. Ada seorang teman sekelasku yang juga diterima di kampus ini.
“Shila!!” Tuh, dia, orangnya. Nara, teman SMA ku.
Segera ku hampiri dia, dan masuk barisan, bergabung sama teman-teman maba lainnya. Tapi tiba-tiba..
“Aduh..”
“Kenapa Shil?” Tanya Nara yang melihatku meringis kesakitan.
“Mules.. aku ke toilet dulu ya.”
Aku bergegas lari menuju toilet. Emang udah bawaan orok, kalo’ lagi tegang, perut suka melilit.
“Haaah.. lega. Tapi kok…aduh, kenapa ini? Pintunya nggak bisa dibuka, Toloong.. toloong..” Teriakku sembari menggedor-gedor pintu.
“Kenapa sih, suara sekenceng itu nggak ada yang denger?” Gerutuku
“Kamu kenapa?” Tanya seorang cowok dari luar.
“Saya kekunci kak.”
Tak lama kemudian, pintunya pun terbuka. Segera ku arahkan pandanganku pada seseorang yang tadi menolongku. Masyaa Allah.. ganteng banget.
Ku tatap wajahnya beberapa saat, tanpa berkedip sedikitpun. Kalo’ yang nolongin dia, sih, aku rela kekunci di toilet tiap hari.
“Ayo, cepat keluar, malah bengong.”
“I.. iya kak.” Ku lihat jam tanganku. Dua menit lagi kegiatan dimulai. Akupun bergegas ke lapangan dan kembali masuk barisan.
“Kamu ngapain aja, sih, ke toilet lama banget.” Tanya Nara.
“Aku kekunci.”
“Kok bisa, trus.. ?”
“Aku ditolong...” Belum ku selesaikan kalimatku, tiba-tiba, cowok yang menolongku tadi nongol di depan kami.
“Cowok ini, Ra, yang nolongin aku, siapa sih dia?” Tanyaku berbisik.
“Oo, itu kak Hanif, mahasiswa akuntansi semester lima.” Jawab Nara
Mahasiswa akuntansi.. berarti, kita satu gedung, dong, bakalan sering ketemu nih. Emang, rejeki nggak ke mana. Astaghfirullah.. nyebut Shila, nyebut, bukan mahram.
Fuuh…PKKMB yang lumayan menguras tenagaku dalam tiga hari ini, akhirnya selesai juga. Saatnya aku merefresh otakku untuk menghadapi deretan angka yang mungkin akan menghiasi hari-hariku selama beberapa tahun ke depan, hehe.
O, iya, aku baru ingat, aku belum sempat ngucapin terimakasih sama Kak Hanif.
Pagi ini, sebelum masuk kelas, kusempatkan dulu nongkrong di salah satu koridor kampus, dengan harapan bakal ketemu Kak Hanif.. dan ternyata benar, dia melintas di hadapanku.
“Kak Hanif !” Panggilku segera.
Kak Hanif pun menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku. Segera ku hampiri dia.
“Kamu mahasiswa baru yang terkunci di toilet waktu PKKMB hari pertama, itu, kan?” Rasanya seneng banget, Kak Hanif masih mengingatku.
“Iya kak.”
“Siapa namamu, Na.. Na..”
“Nayshila Putri Maharani, biasa dipanggil Shila.”
“Ok, Shila, ada yang bisa saya bantu?”
“Emm… saya lupa ngucapin terimakasih waktu kakak nolongin saya, makasih banyak ya kak.”
“Oo, itu.. iya, sama-sama. Ada lagi?” Tanya Kak Hanif
“E.. enggak Kak, cukup.”
“Kalo’ begitu, saya permisi dulu.” Ujar Kak Hanif
“Iya Kak, silahkan!”
Benar saja, hampir setiap hari aku melihat Kak Hanif di kampus.. secara, kita berada di gedung yang sama. Segala sesuatu tentangnya yang Allah perlihatkan padaku, membuatnya begitu sempurna di mataku.
Dia baik, sopan, rajin beribadah, pokoknya, hampir tidak ada cela sedikitpun. Ah, rupanya, aku sudah terjangkit virus merah jambu.
Tak terasa, sudah empat semester kulalui. Aktifitas di kampus yang padat, ditambah tugas kuliah yang menggunung, rasanya tidak sebanding dengan hasil yang aku dapat.
IP ku turun lagi semester ini. Yang bikin tambah nyesek, yaitu, sudah tidak aku dapati lagi Hanif yang sama di kampus ini. Ya, dia sudah berhasil menyelesaikan kuliah dengan predikat cumlaude nya.
Aku pikir, kegalauanku hanya seumur jagung, nyatanya, justru semakin sulit terbendung. Wajahnya, senyumnya, caranya berbicara, semua masih terekam jelas dalam memoriku.
Menghilangkan dia dari ingatanku, sama seperti melenyapkan matahari dari planet bumi, mustahil. Meski begitu, aku tetap berusaha mengontrol hati dan pikiranku, fokus menjalani kuliahku, sekaligus kejar target menaikkan IP ku
Alhamdulillah, usaha memang tidak mengkhianati hasil. Nilaiku sedikit demi sedikit merangkak naik di tiap semester. Singkat cerita, aku berhasil menyelesaikan kuliahku tepat waktu, tanpa drama ini dan itu.
Hari ini, menjadi salah satu hari yang bersejarah dalam hidupku. Ya, aku diwisuda, dan resmi menjadi alumni dari institusi kebanggaanku.
"Apa rencanamu setelah lulus?" Tanyaku basa basi ke Nara.
"Kayaknya sih, lebih baik aku cari suami kaya, kali ya, biar gak perlu kerja, haha.." Kelakarnya.
"Betewe, Kamu masih ingat kak Hanif, kan, yang waktu ospek nolongin kamu?" Sambung Nara yang tiba-tiba mengganti topik pembicaraan.
"Iya, masih, emang kenapa?”
“Denger-denger, dia mau nikah lho."
Mukaku mendadak datar begitu mndengar kabar pernikahan Kak Hanif.
"Oo." Jawabku yang seolah biasa saja, meski sebenarnya aku merasa patah hati. Rupanya, takdir berkata lain. Itu artinya, aku memang sudah harus melupakannya.
Ya, aku pikir itu yang terbaik, karena saat ini, prioritas utamaku adalah masa depanku. Untuk urusan hatiku kuserahkan pada sang pemilik semesta, biarlah tangan-Nya yang bekerja, sementara, tugasku cukup melangitkan do’a.
Alhamdulillah, enam bulan setelah lulus kuliah, aku diterima bekerja di salah satu perusahaan swasta yang lokasinya tidak jauh dari tempat tinggalku, gajinya juga lumayan besar.
Bismillahirrohmanirrohim.. kulangkahkan kakiku memasuki tempat kerja perdanaku, meski sebetulnya, aku sedikit gugup.
Aduh.. perutku... lagi-lagi seperti ini. Nih, perut, emang nggak bisa diajak kompromi kalo’ pas lagi tegang begini. Akupun bergegas menuju kamar mandi.
Haaah… lega. Tapi.. lho, pintunya, kok.. aduh.. kenapa ini? Yaah.. Aku terkunci. Aku berusaha membuka pintunya, tapi tetap tidak bisa.. mana nggak ada orang, di sini.
“Mas, mbak, Pak, Buk, siapapun di luar, tolong dong, saya kekunci, nih.” Ujarku sambil berusaha membuka paksa pintu.
Brak.. tiba-tiba, pintunya terbuka.
Ku lihat sepasang kaki berdiri tegak di hadapanku. Mungkin orang ini yang menolongku. Kuperhatikan dari bawah, dan berakhir pada seraut wajah yang tidak lagi asing bagiku. Kak Hanif?! Apa aku sedang bermimpi.
“Nayshila Putri Maharani.. kamu tuh, hobi banget ya, kekunci di kamar mandi.”
Hah..! aku nggak salah dengar, seingat itukah dia dengan nama panjangku. Aku bengong, masih tidak percaya, bisa bertemu dengannya lagi, setelah hampir tiga tahun lamanya.
“Masih mau di sini?”
Aku tersipu malu, dan segera keluar dari kamar mandi. “Terimakasih, kakak sudah menolong saya lagi.” Ucapku.
“Ini bukan kampus, jadi, stop panggil saya kakak, nggak enak dengernya.” Pinta Kak Hanif.
“Baik, kak, eh.. mas..”
“Nah, kayaknya itu lebih ok.” Sahut Mas Hanif
Sungguh di luar dugaan, pagi ini, aku mengulang peristiwa yang sama seperti yang aku alami di PKKMB hari pertamaku waktu itu. Sebetulnya, aku tidak menginginkan situasi ini. Bertemu dengannya di saat dia sudah menjadi milik orang lain.
Siang itu, saat di kantin,
“Boleh saya duduk di sini?” Tanya Mas Hanif yang tiba-tiba muncul di hadapanku dengan sebotol minuman di tangannya.
“Iya, silahkan!” Jawabku canggung. Kulihat sekeliling, memang kantin sedang ramai siang ini, tidak ada satupun bangku yang kosong.
“Gimana pekerjaanmu, ada kesulitan?” Tanya mas Hanif membuka percakapan
“Alhamdulillah.. aman.” Jawabku singkat
“Syukurlah.”
“O, ya, istri Mas Hanif, apa kabar?”
“Istri?” Mas Hanif mengerutkan dahi
“Iya, beberapa bulan lalu, saya sempat mendengar kabar pernikahan Mas Hanif.”
Mas Hanif tersenyum.
“Dulu, memang saya dijodohkan dengan seorang perempuan, yang tak lain adalah putri dari sahabat karib ayah saya, dan kami sempat mau menikah, tapi, perempuan yg ingin saya nikahi, mengurungkan niatnya dengan alasan yang tidak jelas."
Entah, aku harus merasa kasian, atau malah justru senang mendengarnya. Jujur, sampai saat ini, aku masih berharap bisa menjadi salah satu bagian terpenting dalam hidupnya.
Kami sempat mengobrol panjang lebar siang itu. Rasanya, ingin sekali kuhentikan waktu, agar kebersamaan kami tidak berakhir. Astaghfirullah.. maafkan aku Ya Allah.. sungguh, aku sulit berpaling dari ciptaan-Mu, ini.
Asholatu Khairum Minannaum.. ku lirik jam dindingku, tepat pukul tiga pagi. Dini hari yang syahdu. Segera ku ambil air wudhu dan kubentangkan sajadahku.
“… Ya Allah, maafkan aku, jika kehadirannya telah berkali-kali membuat-Mu cemburu. Tapi apa daya, telah tumbuh rasa di hatiku, yang sulit untuk ku tolak.
Wahai dzat yang Maha Menguasai Hati, aku berlindung kepada Mu, dari segala rasa yang dapat menciderai imanku.
Karenanya, aku mohon kepada-Mu, tuliskanlah namanya di Lauhul Mahfudz sebagai jodohku, halalkanlah dia untukku, sehingga, dapat menyempurnakan separuh agamaku.”
Sejak saat itu, namanya selalu ada dalam setiap fardhu dan sepertiga malamku. Hingga berjalan tiga tahun lamanya, aku tetap menyisipkan namanya dalam do’aku. Jarak fisik kami memang dekat, tapi rasanya jauh terbentang antara Alif dan Ya.
“Selamat ya, Mr. Employee Of The Year.” Ucapku pada Mas Hanif setelah ia dinobatkan sebagai karyawan teladan tahun ini.
“Makasih, ya.” Balasnya
“Ngomong-ngomong, mau buat apa nih, bonusnya?” Celotehku
“Pengennya sih buat nikah.”
“Sudah ada calonnya?”
“Insyaa Allah, besok saya akan mengkhitbah seorang akhwat, do’ain ya, semoga, dia mau menerima saya.” Jawab Mas Hanif yang seketika membuatku syok.
“Aamiin..” Rasanya berat mengucap kalimat itu. Ya Rabb, aku pasrahkan semuanya kepada-Mu. Jika melepasnya adalah jalan yang terbaik bagiku, maka, aku ikhlas.
Pagi ini, aku lihat umi sedang sibuk menyiapkan makanan di dapur.
“Kok makanannya banyak banget, mi?” Tanyaku ke umi
“Hari ini, temen umi mau datang. Kamu bantuin umi, ya, habis itu, kamu mandi, terus temenin umi sama abi.” Jawab umi
“Iya, mi.”
Begitu selesai bantu umi, aku bergegas mandi. Dari dalam kamar, sayup-sayup ku dengar bel pintu berbunyi. Sepertinya, mereka sudah datang. Tidak lama kemudian, umi menjemputku ke kamar, kamipun berjalan bersama menuju ruang tamu.
Dari kejauhan ku lihat seorang lelaki dan wanita paruh baya yang sedang berbincang dengan abi. Ada lagi seorang cowok yang duduk disebelah mereka, tapi.. tunggu.. sepertinya aku kenal.
Wajahnya tidak asing bagiku. Mas Hanif?! Ya, memang benar, itu mas Hanif. Bukankah kemarin bilang, hari ini dia… ah, sudahlah.
“Ini Shila, kan, yang waktu kecil dulu sering tante gendong, Masyaa Allah, kamu cantik banget.” Ujar wanita paruh baya, yang sama sekali belum aku kenal.
“O, ya, tante lupa, kamu kan belum tau siapa om dan tante. Kami, ini, ayah dan ibunya Hanif. Dulu, kami teman sekolah umi kamu.”
Oo, ternyata mereka orang tuanya Mas Hanif, teman abi dan umi, dunia memang sempit.
“Hanif sering cerita tentang kamu, lho. Begitu tante tau, kalo’ kamu anak dari temen tante, tante seneng banget.”
Hah.. mas Hanif sering cerita soal aku ke ibunya, apa iya, sampe’ segitunya.
Mereka mulai berbincang seru, berbanding terbalik denganku, duduk berhadapan dengan mas Hanif, membuat jantungku serasa habis lari marathon.
Aku yang biasa berdiskusi dengannya saat di kantor, kali ini, jadi canggung, bahkan untuk sekedar menegakkan kepalapun, rasanya kaku.
“Mbak Sari, mas Arman..” Nama orangtuaku disebut, sepertinya, mulai ada pembicaraan serius. Kenapa jadi tegang gini, sih.
“Maksud kedatangan kami ke sini, selain bersilaturahim, kami juga ingin meminta ijin kepada mbak Sari dan mas Arman, untuk meminang Shila menjadi pendamping hidup Hanif.”
Apa aku tidak salah dengar.. jadi, akhwat yang mas Hanif maksud kemarin itu, ternyata aku?!
“Bagaimana nak, apa kamu menerimanya?” Tanya umi seraya menggenggam tanganku.
Aku tidak perlu pikir panjang untuk menjawabnya. Bismillah.. “Iya, saya terima.”
“Alhamdulillah..” Ucap syukur mereka.
Di waktu yang sama, ku dapati senyum mas Hanif mengarah kepadaku. Senyum yang sebenarnya sering aku lihat, tapi, entah kenapa, kali ini jauh lebih hangat.
Alhamdulillah, selang satu bulan setelah prosesi khitbah, akhirnya, kamipun menikah, dan Mas Hanif membawaku ke rumah baru yang sudah dia persiapkan untuk kami.
“Aku berjanji, akan menjadikan rumah ini surga untuk keluarga kecil kita.” Ucap mas Hanif, yang kemudian memelukku.
Memang tidak mudah mengingkari rasa, tatkala dia hadir di persimpangan qolbu. Rasa cinta yang aku khawatirkan akan melebihi kecintaanku kepada Rabb ku.
Teruntuk Engkau Sang Pemilik Hati.. Terimakasih telah menjagaku untuk tetap teguh berada di jalan-Mu. Telah pula Engkau halalkan dia untukku. Alhamdulillah, sempurnalah sudah separuh agamaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar