Gadis manis itu bernama Salwa, Shakilla Ainur Salwa, seorang mahasiswi semester 6 Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Jogja.
Sosok sederhana dibalik gamis panjang dan kerudung yang lebar. Wajahnya yang teduh begitu sejuk dipandang meski tanpa make up sekalipun.
Pagi ini, cuaca begitu hangat, sinar mentari menyeruak masuk ke kamar Salwa, meski aroma tanah basah sisa hujan semalam masih tercium jelas olehnya. Setelah libur panjang akhir semester lalu, hari ini, Salwa kembali ke kampus.
“Alamak...cemana ko ni?”
Nah, kalo’ cewek Medan yang satu ini, namanya Tiur Silalahi, yang akrab disapa Tiur. Dia teman sekelas Salwa. Mereka sudah berteman akrab sejak pertama kali masuk Universitas.
“Ku panggil-panggil tak nengok pulak, kangen kali, aku, apa kabar, kau?” Sambung Tiur
“Alhamdulillah, baik,” Jawab Salwa
“Kamu sendiri, apa kabar?” Imbuhnya.
“Ha, ko tengoklah badan aku, sehat kali..” Jawab Tiur sambil menepuk-nepuk otot lengannya.
Mereka hanyut dalam perbincangan seru di salah satu koridor kampus sembari menunggu dimulainya kelas pagi ini. Hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 08.00, mereka pun bergegas masuk kelas.
“Good morning..!” Sapa seorang laki-laki berkemeja biru dengan menenteng dua buah buku tebal di tangan kanannya yang langsung mencuri perhatian seisi kelas.
“Hi.., i’m Furqon, Muhammad Furqon, mulai hari ini, setiap kali ada mata kuliah Micro teaching, maka anda akan bertatap muka dengan saya.” Sambung Furqon dengan gayanya yang cool.
“Alamak, keren kali, dosen kita ini. Jadi semangat belajar aku, we.” Celetuk Tiur.
Hari ini untuk pertama kalinya, kelas menjadi lebih berwarna. Setidaknya ada satu bagian waktu di mana tidak ada lagi wajah-wajah tegang dan dosen bermuka garang.
Pembawaan Furqon yang tenang tapi humoris selalu bisa membuat suasana perkuliahan menjadi lebih menyenangkan.
Bukan hanya itu, wajahnya yang tampan, ditambah penampilannya yang stylish, juga kerap jadi bahan obrolan manis para mahasiswi yang sedang dirundung asmara.
Keberadaannya bagaikan oase yang menyejukkan, sehingga tidak heran, jika kampus acap kali dijadikan ajang cuci mata dan tebar pesona para mahasiswi dari berbagai tingkatan.
Hari ini hampir seharian Salwa di kampus, karena jadwal praktikum yang sedikit molor. Wajahnya terlihat sangat lelah, karena memang tidak biasanya dia pulang sesore ini.
“Alhamdulillah.. akhirnya selesai juga.” Ujar Salwa
“Ko tengoklah muka aku, dah macam kilang minyak aja, gara-gara AC di kelas mati.” Gerutu Tiur.
“Sudah hampir maghrib, aku duluan ya.” Ucap Salwa
“Hati-hati, ko.” Pinta Tiur
Matahari mulai menghilang dari cakrawala. Perlahan cahayanya meredup dan melukis warna jingga.
“Allahuakbar... Allahuakbar...”
Sesaat, sayup-sayup azan maghrib pun terdengar. Salwa segera menepikan sepeda lipatnya di sebuah masjid dan menunaikan sholat berjama’ah.
“Assalamu’alaikum Warahmatullah.. Assalamu’alaikum Warahmatullah..”
Setelah selesai sholat, Salwa segera beranjak untuk melanjutkan perjalanan karena khawatir akan kemalaman sampai di rumah.
Namun saat dia mengambil sepedanya, justru malah berpapasan dengan Furqon, dosen barunya.
“Bapak habis sholat di sini juga?” Tanya Salwa
Furqon mengangguk sambil tersenyum.
“Kamu mahasiswi semester 6 kan, siapa nama kamu?” Tanya Furqon
“Salwa.”
“Ya, Salwa, maaf, saya tidak begitu hafal nama mahasiswa saya satu per satu. Bukannya kelas terakhir seharusnya sudah selesai jam 4, ya?”
“Jadwal praktikum agak molor, tadi.”
Tiba-tiba langit gemuruh.
“Kayaknya bentar lagi hujan.“ Celetuk Furqon
“Kamu yakin mau lanjut naik sepeda?” Imbuhnya
Salwa mengangguk
“Emm..” Sejenak Furqon berfikir
“Gimana kalo’ kamu naik mobil bareng saya aja, biar nanti sepedamu di taroh dalam bagasi?” Ujar Furqon menawarkan bantuan
“Nggak usah pak, terimakasih.” Tolak Salwa
“Kenapa?” Furqon mengernyitkan dahi
“Ini sudah malam, lho, kayaknya, bentar lagi hujan, kamu bisa kehujanan di jalan.” Imbuhnya
“Maaf pak, saya benar-benar tidak bisa.” Tolak Salwa tegas
“Baik, saya tidak akan memaksa. Ok, kalo gitu, saya duluan ya, kamu hati-hati di jalan!” Ujar Furqon.
Furqon kembali melajukan mobilnya sembari menatap bayangan Salwa yang masih terlihat di kaca spion.
Beruntung, Salwa lebih dulu sampai di rumah sebelum air hujan mengguyurnya. Sehabis sholat isya, ia merebahkan diri di atas kasur sambil menatap langit-langit.
Rasa lelah yang mendera, membuat tubuhnya seolah protes ingin segera beristirahat. Hingga tak terasa, malam pun mengantarnya dalam lelap.
“Kuliah untuk siang hari ini saya akhiri, jangan lupa, minggu depan, tugas observasi harus sudah dikumpulkan.” Ujar seorang dosen mengakhiri kelas.
“Kenapa kamu, sakit?” Tanya Salwa pada Tiur yang sedari tadi memegangi perutnya
“Kau duluan saja, we, aku mau ke toilet. Sakit kali perut aku.” Jawab Tiur sambil meringis menahan sakitnya, yang kemudian bergegas ke toilet
Sesaat keluar dari kelas, tanpa sengaja, tiba-tiba Salwa bertemu dengan Furqon.
“Semalam kamu kehujanan?” Tanya Furqon mengawali pembicaraan sembari berjalan bersama menyusuri koridor
“Alhamdulillah, sebelum hujan, saya sudah sampai rumah.” Jawab Salwa
“Syukurlah..” Ucap Furqon
“Emm, kamu nggak cape’, apa, tiap hari naik sepeda bolak balik dari rumah ke kampus, belum lagi kalo kepanasan, kehujanan.” Imbuhnya
Salwa tersenyum tipis.
“Terkadang, hidup yang kita keluhkan, bisa jadi adalah kehidupan yang didambakan banyak orang. Berapa banyak orang di luar sana yang memiliki fisik kurang sempurna, ingin merasakan bisa naik sepeda seperti saya.” Jawab Salwa menohok.
Sementara, tanpa mereka sadari, di sepanjang koridor, banyak mata yang menatap mereka tajam.
“So, kenapa kamu menolak bantuan saya semalam?” Tanya Furqon
“Maaf, jika kita hanya berduaan saja di dalam mobil tanpa ditemani mahram, saya khawatir akan menimbulkan fitnah.” Jawab Salwa tegas
Jlep! Tidak tanggung-tanggung, jawaban Salwa langsung mengena di hati Furqon.
“Astaghfirullahaladzim..” Gumam Furqon
“Maaf, saya duluan, Assalamu’alaikum..” Ucap Salwa sambil berlalu dari hadapannya.
“Wa’alaikumussalam Warahmatullah..” Jawab Furqon
Langkah Furqon terhenti. Terlihat jelas binar mata dan senyum tipis di bibirnya yang seolah mengisyaratkan kekaguman.
“Begitu indah cara-Nya mempertemukanku pada senja, yang tanpa ku sadari, dalam sekejap cahayanya mampu menaklukkan hati, tanpa alur dan narasi.” Ucapnya dalam hati
Langit hitam semakin menebal, tapi Furqon masih terjaga hingga selarut ini. Ia tengah sibuk mengusir rasa dingin dengan secangkir teh dan baju hangat yang melekat di tubuhnya.
Masih tersisa di benaknya tentang sekelumit cerita di penghujung siang tadi. Seraut wajah manis yang terekam jelas dalam memorinya, juga tutur kata bijak yang terucap tanpa sedikitpun membuatnya merasa terhakimi.
Satu semester telah berlalu. Salwa yang saat ini sudah semester 7, tengah sibuk dengan praktik mengajarnya.
Begitu juga dengan Furqon, ia sibuk mengajar mata kuliah lain di semester ganjilnya. Salwa sudah jarang terlihat, hanya sesekai muncul saat ada urusan yang harus ia selesaikan di kampus.
Tak bisa dipungkiri, dari hari ke hari, sosok Salwa semakin menggelayuti pikirannya.
“Kenapa sih lo, nggak terus terang aja sama tu akhwat? Karir lo bagus, hidup sudah mapan, tunggu apa lagi?” Ujar Hanif, teman Furqon
“Nggak semudah itu, bray.”
“Why?”
“Gue nggak mau egois, karena saat ini dia sedang berjuang untuk mewujudkan mimpinya.” Terang Furqon
Hanif menepuk pundak Furqon
“Gue salut sama lo. Lo masih menggunakan hati.” Ujarnya seraya mengetuk dada Furqon
Waktu bergulir begitu cepat mengiringi cerita asmara Furqon dalam diamnya. Ia terus bergelut dengan hatinya, sebelum akhirnya, dia memutuskan untuk tetap diam dengan perasaannya.
Cinta memang sebuah fitrah yang tak seorangpun kuasa untuk menolak. Namun jangan sampai karenanya, kita justru lupa pada dzat yang menciptakan cinta.
Jangan sampai karenanya, kita justru menciderai kecintaan kita pada sang pemilik cinta yang sesungguhnya.
Cukup titipkan saja pada-Nya melalui do’a. Layaknya cinta seorang Sayyidina Ali dan Sayyidah Fatimah Az Zahra, meski rasa itu tak pernah terucap, namun begitu mudahnya bagi Allah mempersatukan mereka dalam ridha-Nya.
Aku yakin, Allah telah mempersiapkan seseorang untuk menjadi pendamping hidupku, yang akan mengisi ruang kecil di sudut qalbu.
Aku sadar, diriku bukanlah sosok yang sempurna, namun kelak, aku ingin menjadi imam terbaik untuk dia yang ku curi hatinya saat itu." Tulis Furqon mengakhiri coretannya hari ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar